Ku Temukan Engkau Meisya
Hari kejadian itu, aku lihat teks berjalan di televisi yang sepintas aku abaikan. Tapi tak lama, ku terhenyak ketika membaca kembali gempa yang menerjang kotamu 9,2 skalarichter. Walaupun galau, aku masih merasa tenang ketika yang mereka beritakan hanya Banda Aceh, jauh dari rumahmu.
Sms ku hanya laporkan “pending” samapai minggu malam. Setiap telefon ku jadi sia-sia terjawab “veronica”. Apa yang terjadi di kotamu? Pikirku waktu itu. Baru senin pagi (27 Desember 2004) aku lihat dilayar kaca dahsyatnya bencana dikotamu. Apalagi ternyata bukan hanya lempengan bumi menggeliat yang hancurkan kotamu, tapi juga liukan gelombang tsunami. “Astagfirulloh Meisya…!” kalimat itu yang spontan aku ucapkan (aku lirik Meisya ku dan dia pun tersenyum, lalu kukecup lagi keningnya).
Kamu tahu sayang, senin pagi itu juga aku keluar kantor tanpa pedulikan managerku yang galak itu ( sekilas Meisya tersenyum lagi). Aku pesan tiket ke kotamu, kalau tidak ada Ibrahim yang kerja di maskapai itu, mungkin aku juga susah mendapat tiket, Meisya.
Tiba di Iskandar Muda. Aku hanya beristigfar, bertasbih, aku tak tahu haru bagaimana Meisya. Aku lihat banyak sekali orang dengan lumpur menyumbat pori-porinya, dengan kain yang tak pantas lagi disebut baju. Aku juga lihat ratusan mayat yang tak sempat ditutupi apapun. Aku bertanya cara menuju ke daerahmu kepada seorang Brimob yang kebetulan lewat. Tapi dia hanya menjawab “Meulaboh masih terendam air laut”. Aku tertunduk lemas sayang.
Tak ada jalan lain, aku hanya terpenjara di Iskandar Muda. Sampai akhirnya, Brimob yang dulu sempat aku tanya itu mengajakku ke daerahmu. Sepanjang jalan, mataku menjadi hangat karena linangan air bening yang tak berhenti mengalir. Ketika samapi ke tempat yang mereka sebut Meulaboh, aku hanya terpaku Meisya. Aku tak lihat kota disana. Aku jadi lupa lagi dimana rumahmu, karena semua sama rongsokan, kayu, lumpur, mayat.